Di masa ‘Abbasiyah akhir, negeri negeri Muslim tersekat oleh berbagai
kesultanan yang berkuasa sendiri – sendiri. Yang duduk bertahta di
Baghdad dan mereka sebut “Amirul Mukminin” memang masih ada. Tetapi dia
tidak lebih dari pemuda manja yang diperlakukan bagai boneka oleh para
sultan yang berebut pengaruh.
Kisah ini adalah sebuah sejarah kecil pada era itu. Ini kisah seorang ayah dan anak.
Sang ayah bekas budak. Selama menjadi budak, libur Jum’at sebagaimana
ditetapkan kesultanan dimanfaatkannya untuk habis – habisan bekerja.
Dengan dirham demi dirham yang terkumpul, satu hari dia minta izin untuk
menebus dirinya pada sang majikan.
“Tuan,” ujarnya, “Apakah dengan membayar harga senilai dengan berapa engkau membeliku dulu, aku akan bebas?”
“Hmm… ya, bisa.”
“Baik, ini dia,” katanya sambil meletakkan bungkusan uang itu di
hadapan tuannya. “Allah ‘Azza wa Jalla telah membeliku dari Anda, lalu
Dia membebaskanku. Alhamdulillah.”
“Maka engkau bebas karena Allah,” ujar sang tuan tertakjub. Dia
bangkit dari duduknya dan memeluk sang budak. Dia hanya mengambil
separuh harga yang tadi disebutkan. Separuh lagi diserahkannya kembali.
“Gunakanlah ini,” katanya berpesan, “Untuk memuai kehidupan barumu
sebagai orang yang merdeka. Aku berbahagia menjadi sebagian Tangan
Allah yang membebaskanmu!”
Penuh syukur dan haru, tapi juga disergap khawatir, dia pamit. “Aku
tidak tahu wahai tuanku yang baik,” ucapnya dengan mata berkaca – kaca, “
Apakah kebebasan ini rahmat ataukah musibah. Aku hanya berbaik sangka
kepada Allah.”
Tahun demi tahun berlalu. Dia telah menikah. Tetapi sang istri
meninggal ketika menyelesaikan tugasnya, menyempurnakan susuan sang
putra hingga usia dua tahun. Maka dibesarkan putra semata wayangnya
dengan penuh kasih. Dididiknya anak lelaki itu untuk memahami agama dan
menjalankan sunnah Nabi, juga untuk bersikap ksatria dan berjiwa
merdeka.
“Anakku,” katanya di suatu pagi, “Ayahmu ini dulu seorang budak.
Ayahmu ini separuh manusia di mata agama dan sesama. Tapi selalu kujaga
kehormatan dan kesucianku, maka Allah memuliakanku dengan membebaskanku.
Dan jadilah kita orang merdeka. Ketahuilah Nak, orang bebas yang paling
merdeka adalah dia yang bisa memilih caranya untuk mati dan menghadap
Illahi!”
“Ketahuilah,” lanjutnya, “Seorang yang syahid di jalan Allah itu
hakikatnya tak pernah mati. Saat terbunuh, dia akan disambut oleh tujuh
puluh bidadari. Ruhnya menanti kiamat dengan terbang kesana kemari dalam
tubuh burung hijau di taman surge, dan diizinkan baginya member
syafa’at bagi keluarganya. Mari kita rebut kehormatan itu, Nak, dengan
berjihad lalu syahid di jalanNya!”
Sang anak mengangguk – angguk.
Sang ayah mengeluarkan sebuah kantung berpelisir emas. Dinar – dinar
di dalamnya bergemerincing. “Mari mempersiapkan diri”, bisiknya. “Mari
kita beli yang terbagus dengan harta ini untuk dipersembahkan dalam
jihad di jalanNya. Mari kita belanjakan uang ini untuk mengantar kita
pada kesyahidan dengan sebaik – baik tunggangan.”
Siangnya, mereka pulang dari pasar dengan menuntun seekor kuda perang
berwarna hitam. Kuda itu gagah. Surainya mekar menjumbai. Tampangnya
mengagumkan. Matanya berkilat. Giginya rapid an tajam. Kakinya mekar dan
kukuh. Ringkiknya pasti membuat kuda musuh bergidik.
Semua tetangga datang untuk mengaguminya. Mereka menyentuhnya,
mengelus surainya. “Kuda yang hebat!” kata mereka. Kami belum pernah
melihat kuda seindah ini. Luar biasa! Mantap sekali! Berapa yang kalian
habiskan untuk membeli kuda ini?”
Anak beranak itu tersenyum simpul. “Yah, itu simpanan yang dikumpulkan seumur hidup.”
Para tetangga ternganga mendengar jumlahnya. “Wah”, seru mereka,
“Kalian masih waras atau sudah gila? Uang sebanyak itu dihabiskan untuk
membeli kuda? Padahal rumah kalian reot nyaris roboh. Untuk makan besok
pun belum tentu ada!” Kekaguman mereka di awal tadi berubah menjadi
cemo’oh. “Tolol!” kata salah satu. “Tak tahu diri!” ujar yang lain.
“Pandir!”
“Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Tapi kami berprasangka baik kepada Allah,” ujar mereka.
Para tetangga pulang. Ayah dan anak itu pun merawat kudanya dengan
penuh cinta. Makanan si kuda dijamin kelengkapannya; rumput segar,
jerami kering, biji – bijian, dedak, air segar, kadang bahkan ditambah
madu. Si kuda dilatih keras, tapi tak dibiarkan lelah tanpa mendapat
hadiah. Kini mereka tak hanya berdua, melainkan bertiga. Bersama – sama
menanti panggilan Allah di medan jihad untuk menjemput takdir terindah.
Sepekan berlalu. Di sebuah pagi buta ketika si ayah melongok ke
kandang, dia tak melihat apapun. Kosong. Palang pintunya patah. Beberapa
jeruji kayu terkoyak remuk.
“Kuda itu hilang!”
Berduyun – duyun para tetangga datang untuk mengucapkan bela
sungkawa. Mereka bersimpati pada cita tinggi kedua anak ayah itu. Tapi
mereka juga menganggap keduanya kelewatan. “Ah, sayang sekali!” katan
mereka, “Padahal itu kuda terindah yang pernah kami lihat. Kalian memang
tidak beruntung. Kuda itu hanya hadir sejenak untuk memuaskan ambisi
kalian, lalu Allah membebaskannya dan mengandaskan cita – cita kalian!”
Sang ayah tersenyum sambil mengelus kepala anaknya. “Kami tak tahu,”
ucap keduanya serempak, “Ini rahmat atau musibah. Kami hanya
berprasangka baik kepada Allah.”
Mereka pasrah. Mereka mencoba untuk menghitung – hitung uang dan
mengira – ngira, kapan bisa membeli kuda lagi. “Nak”, sang ayah menatap
mata putranya, “Dengan atau tanpa kuda, jika panggilan Allah datang,
kita harus menyambutnya.” Si Anak mengangguk mantap. Mereka kembali
bekerja tekun seakan tak terjadi apapun.
Tiga hari kemudian, saat subuh menjelang, kandang kuda mereka gaduh
dan riuh. Suara ringkikan bersahut – sahutan. Terkejut dan jaga, ayah
dan anak itu berlari ke kandang sambil membenahi pakaiannya. Di kandang
itu mereka temukan kuda hitam yang gagah bersurai indah. Tak salah lagi,
itu kuda mereka yang pergi tanpa pamit tiga hari yang lalu!
Tapi kuda itu tak sendiri. Ada belasan kuda lain bersamanya. Kuda –
kuda liar! Itu pasti kawan – kawannya. Mereka datang dari stepa luas
untuk bergabung di kandang si hitam. Mungkinkah kuda punya akal jernih?
Mungkinkah si hitam yang merasa mendapatkan layanan terbaik di kandang
seorang bekas budak mengajak kawan – kawannya bergabung? Atau tahukah
mereka bahwa mendatangi kandang itu berarti bersiap bertaruh nyawa untuk
kemuliaan agama Allah, kelak jika panggilanNya berkumandang? Atau
memang itu yang mereka inginkan?
“Bertasbih kepada Allah, segala yang di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S Ash Shaff [61]: 1)
Ketika hari terang, para tetangga datang dengan takjub. “Luar biasa!”
kata mereka. “Kuda itu pergi untuk memanggil kawan – kawannya dan kini
kembali membawa mereka menggabungkan diri!” Mereka semua mengucapkan
selamat pada pemiliknya.
“Wah, kalian sekarang kaya raya! Kalian orang terkaya di kampung
ini!” Tapi si pemilik hanya tersenyum.
“Kami tak tahu, ini rahmat atau
musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Hari berikutnya dengan bahagia, sang putra mencoba menaiki salah
seekor kuda itu. Sukacita dia memacunya ke segala penjuru. Satu saat,
kuda liar itu terkejut ketika berpapasan dengan seekor lembu yang lepas
dari kandang di persimpangan. Dia meronta keras, dan sang penunggang
terbanting. Kakinya patah. Dia meringis kesakitan.
Para tetangga datang menjenguk. Mereka menatap anak itu dengan
pandangan penuh iba. “Kami turut prihatin,” kata mereka. “Ternyata kuda
itu tidak membawa berkah. Mereka dating membawa musibah. Alangkah lebih
beruntung yang tak memiliki kuda, namun anaknya sehat sentausa!”
Tuan rumah tersenyum lagi. “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Hari berikutnya, hulubalang raja berkeliling negeri. Dia mengumumkan
pengerahan pasukan untuk menghadapi tentara musuh yang telah menyerang
perbatasan. Semua pemuda yang sehat jasmani dan rohani wajib bergabung
untuk mempertahankan negeri. Sayang, perang ini sulit dikatakan sebagai
jihad di jalan Allah karena musuh yang hendak dihadapi adalah sesama
Muslim. Mereka hanya berbeda kesultanan.
“Nak,” bisik sang aah ke telinga sang putra yang terbaring tak
berdaya, “Semoga Allah menjaga ita dari menumpahkan darah sesama Muslim.
Allah Maha Tahu, kita ingin berjihad di jalanNya. Kita sama sekali tak
hendak beradu senjata dengan orang – orang beriman. Semoga Allah
membebaskan diri kita dari beban itu!” Mereka berpelukan.
Petugas pendaftaran mendatangi tiap rumah dan membawa para pemuda
yang memenuhi syarat. Saat memasuki rumah sang ayah dan anak pemilik
kuda, mereka mendapati putranya terbaring di tempat tidur dengan kaki
terbebat, disangga kayu dan dibalut kain.
“Ada apa dengannya?”
“Tuan prajurit,” kata sang ayah, “Anak saya ini begitu ingin membela
negeri dan dia telah berlatih untuk itu. Tetapi kemarin dia jatuh dari
kuda ketika sedang mencoba menjinakkan kuda liar kami. Kakinya patah.”
“Ah, sayang sekali!” kata sang Hulubalang. “Padahal kulihat dia
begitu gagah. Dia pasti akan menjadi seorang prajurit tangguh. Tapi
baiklah. Dia tak memenuhi syarat. Maafkan aku, aku tak bisa
mengikutsertakannya!”
Dan hari itu, para tetangga yang ditinggal pergi putra – putranya
menjadi prajurit mendatangi si pemilik kuda. “Ah, nasib!” kata mereka.
“Kami kehilangan anak – anak lelaki kami, tumpuan harapan keluarga. Kami
melepas mereka tanpa tahu apakah mereka akan kembali atau tidak.
Sementara putramu tetap bisa di rumah karena patah kakinya. Kalian
begitu beruntung! Allah menyayangi kalian!”
Tuan rumah ikut bersedih melihat mendung di wajah – wajah itu. Kali
ini ayah dan anak itu tersenyum. Tapi ucapan mereka kembali bergema,
“Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik
kepada Allah.”
Sebulan kemudian, kota itu dipenuhi ratapan para ibu dan isak tangis
para istri. Sementara para lelaki hanya termangu dan tergugu. Kabarnya
telah jelas. Semua pemuda yang diberangkatkan perang tewas di medan
tempur. Tapi agaknya para warga telah belajar banyak dari ayah beranak
pemilik kuda. Seluruh penduduk kota kini menggumamkan kalimat indah itu.
“Kami tak tahu ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik
kepada Allah.”
Singkat kisah, tak berapa lama kemudian panggilan jihad yang
sebenarnya bergema. Pasukan Mongol dipimpin Hulagu Khan menyerbu wilayah
Islam dan membumihanguskannya hingga rata dengan tanah. Orang – orang
tak berperikemanusiaan itu mengalir bagai air bah meluluhlantakkan
peradaban. Ayah dan anak itu pun menyongsong janjinya. Mereka bergegas
menyambut panggilan denga kalimat agungnya, “Kami tak tahu ini rahmata
atau musibah. Kami hanya berprasangaka baik kepada Allah!”
Mereka memang menemui syahid. Tapi sebelum itu, ada selaksa nikmat
yang Allah karuniakan kepada mereka untuk dirasai. Sang anak pernah
tertangkap pasukan Mongol dan dijual sebagai budak. Dia berpindah –
pindah tangan hingga kepemilikannya jatuh pada Al Kamil, seorang sultan
Ayyubiyah di Kairo. Ketika pemerintahan Mamluk menggantikan wangsa
Ayyubiyah di Mesir, karienya menanjak cepat dari komandan kecil menjadi
panglima pasukan, lalu Amir wilayah. Terakhir setelah wafatnya Az Zahir
Ruknuddin Baibars, dia diangkat menjadi Sultan. Namanya Al Manshur
Saifuddin Qalawun.
Inilah sekelumit kisah tentangnya. Qalawun yang berani berprasangka
baik dalam segala keterhijaban. Qalawun yang berani berkata, “Kami tak
tahu ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada
Allah!” Seperti kisahnya, dalam dekapan ukhuwah, ada berjuta kebaikan
mengiringi prasangka baik padaNya. Dia setia bersama kita dan
melimpahkan kebaikan, karena kita mengingatNya juga dengan sangkaan
kebaikan.
Disadur dari buku "Dalam Dekapan Ukhuwah", Salim A. Fillah, Pro-U-Media.
Baca kisah-kisah menakjubkan lainnya di bukunya langsung ya.. ^_^
Catatan tambahan:
Qawalun adalah salah satu anglima perang Sultan Baibars ketika mematahkan serbuan bangsa Mongol
ke Palestina dalam peperangan Ain Jalut pada tanggal 3
September 1260. Kemenangan ini merupakan “balasan”
terhadap bangsa Mongol yang sebelumnya menghancurkan Baghdad sebagai
pusat kilafah Islam.
Perang ini merupakan peristiwa
besar dalam sejarah Islam dan merupakan kemenangan pertama yang
berhasil dicapai oleh kaum muslimin terhadap orang-orang Mongolia.
Mereka berhasil menghancurkan mitos yang mengatakan bahwa tentara
Mongol tidak pernah terkalahkan. Setelah kemenangan ini,
nilai tambah terhadap Dinasti Mamluk adalah bersatunya kembali Mesir
dan Syam di bawah naungan Sultan Mamluk setelah mengalami perpecahan
pada masa sultan-sultan keturunan Salahuddin Al-Ayyubi. (Prie Tea Go Blog)