31 Agustus 2017

Perkembangan Pengelompokan Energi

a)   Minyak Bumi vs Energi Baru dan Terbarukan

Konsep energi terbarukan mulai dikenal pada tahun 1970-an, sebagai upaya untuk mengimbangi pengembangan energi berbahan bakar fosil. Definisi paling umum adalah sumber energi yang dapat dengan cepat dipulihkan kembali secara alami, dan prosesnya berkelanjutan. Dengan definisi ini, maka bahan bakar fosil tidak termasuk di dalamnya.
Latar belakang naiknya istilah tersebut adalah terjadinya krisis minyak bumi. Hal ini dimulai pada tahun 1970, saat pemerintah Nixon menyadari bahwa produksi minyak Amerika Serikat mengalami penurunan yang tidak bisa ditahan lagi, sehingga Amerika Serikat harus bersiap-siap untuk menambah impor minyak (Sumber: "Responding to Crisis". University of Wisconsin. April 26, 2010).. Setahun kemudian, yaitu pada 15 Agustus 1971, Amerika Serikat mengubah kebijakan mata uangnya untuk tidak mengikuti aturan Bretton Woods, sehingga nilai US Dollar tidak terkait dengan nilai emas, tetapi melepaskan nilainya untuk mengambang (floating) naik atau turun tergantung permintaan pasar (Sumber: Kollen Ghizoni, Sandra. "Nixon Ends Convertibility of U.S. Dollars to Gold and Announces Wage/Price Controls". Federal Reserve History). Tidak lama kemudian Inggris mengikuti dengan mengambangkan nilai poundsterlingnya, dan diikuti oleh negara-negara industri lainnya.
Akibat pertama kalinya menghadapi mata uang mengambang, negara-negara industri berusaha mengantisipasi fluktuasi mata uangnya dengan meningkatkan cadangan devisanya dengan nilai yang sangat besar dibanding sebelumnya. Dampak yang terjadi adalah penurunan nilai US dollar secara drastis. Karena minyak bumi dinilai dalam US dollar, maka pendapatan negara-negara penghasil minyak pun mengalami penurunan nyata.
Pada 15 Oktober 1973 hingga Maret 1974 saat OAPEC (Organization of Arab Petroleum Exporting Countries) yaitu negara arab anggota OPEC ditambah Mesir dan Suriah,  melakukan penyesuaian harga jual minyaknya, munurunkan produksinya secara bertahap dan memberlakukan embargo minyak terhadap Kanada, Jepang, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat sebagai tindakan protes terhadap dukungan Amerika Serikat terhadap Israel dalam perang Yom Kippur.  Hal ini menyebabkan harga minyak dunia melonjak tajam. Disertai dengan pengeluaran Amerika Serikat untuk perang Vietnam yang semakin besar, mengakibatkan ekonomi dunia menjadi tertekan, dan memaksa negara-negara di dunia untuk mengeluarkan anggaran yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan energinya. Saat itu harga minyak dunia meningkat 4 kali lipat, dari harga 3 USD/barrel menjadi 12 USD/barrel pada akhir 1974. Peristiwa ini disebut sebagai First Oil Shock, dikenal juga dengan krisis minyak (Sumber: "Responding to Crisis". University of Wisconsin. April 26, 2010).
Peristiwa kedua adalah Second Oil Shock,  dikenal juga dengan krisis energi, yang terjadi akibat menurunnya produksi minyak Iran pada tahun 1979 akibat diturunkannya Shah Iran dari kekuasaannya. Walaupun secara global produksi minyak hanya menurun 4%, akan tetapi rumor yang beredar memperburuk keadaan dan trauma kelangkaan BBM tahun 1973 membuat kepanikan melanda dan harga minyak meningkat dengan drastis. Pada 5 April 1979, harga minyak di  15,85 USD/barrel, dan tidak lama kemudian menjadi 39,5 USD/barrel (Sumber: "Iran, Another Crisis for the Shah". Time. 1978-11-13).  
Peristiwa tersebut disusul oleh perang Iran-Irak yang dimulai pada 22 September 1980 ketika Irak menyerang Iran. Akibatnya Iran tidak memproduksi minyak bumi lagi, dan dunia mengalami kelangkaan energi. Persoalan ini berhasil diatasi saat negara-negara penghasil minyak meningkatkan produksinya untuk mengembalikan suplai minyak bumi dunia. Perang Iran-Irak ini baru berakhir pada Agustus 1988( Sumber: Karsh, Efraim (25 April 2002). The Iran–Iraq War: 1980–1988.).
Akibat kedua peristiwa tersebut, trauma terhadap krisis minyak dan energi membuat banyak orang sadar bahwa ketergantungan dunia akan minyak bumi sangat membahayakan efeknya bagi ekonomi, sehingga muncul gerakan untuk mengembangkan energi alternatif yang bukan berbasis minyak bumi. Hal ini didukung pula oleh isu lingkungan yang dikembangkan di konferensi Stockholm 1972 atau United Nations Conference on the Human Environtment 1972
Pada UN conference of NRSE (New and Renewable Sources Of Energy) 1981 di Nairobi, Kenya, didapatkan kesepakatan yang diantaranya adalah bahwa keamanan pasokan energi adalah yang vital untuk perkembangan ekonomi setiap negara, kelangkaan energi adalah ancaman serius bagi perdamaian,  sehingga untuk alasan ekonomi dan politik ketergantungan terhadap minyak bumi (sumber energi tak terbarukan) harus secara bertahap dikurangi, dan kebijakan eksploitasi sumber energi baru dan terbarukan, termasuk untuk cadangan energi, harus mulai didorong (Sumber: “Nairobi Declaration”, UN Documents).
Sejak saat itulah istilah sumber energi baru dan terbarukan (new and renewable source of energi) menjadi pilihan alternatif dari sumber energi minyak bumi.

b)    Clean Fossil Fuel vs Energi Nir Karbon

Pada tahun 1992 diadakan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, yang dikenal juga sebagai Rio de Janeiro Earth Summit, Rio Summit, Rio Conference, dan Earth Summit (KTT Bumi), pada tanggal 3 hingga 14 Juni, sebagai konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa. 
Sebelumnya, pada 9 Mei 1992, sebuah komite negosiasi antar bangsa (Intergovernmental Negotiating Committee/INC) menerbitkan naskah Framework Convention saat pertemuan di New York dari 30 April hingga 9 Mei 1992 yang dinamakan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). UNFCCC ini yang kemudian ditandatangani di KTT Bumi di Rio, dan hingga Desember 2015 sudah diadopsi oleh 197 negara, sehingga mendapat legitimasi secara global karena keanggotaannya yang universal.
Dalam KTT Bumi Rio ini, isu pemanasan global menjadi salah satu topik bahasan, bahwa terjadi perubahan iklim (climate change) akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK, Green House Gas/GHG) yang salah satunya adalah karbondioksida (CO2) karena pembakaran. Lebih spesifik lagi, GRK karbondioksida diproduksi oleh pembakaran energi tak terbarukan, sehingga muncul istilah energi fosil (Fossil Fuel) untuk minyak bumi, gas bumi, dan batubara. Untuk itu diperlukan energi alternatif yang lebih bersih dan tidak menghasilkan gas rumah kaca untuk menggantikan energi fosil. Energi alternatif ini disebut energi bersih (clean energy) atau energi netral karbon/nir karbon yang termasuk dalam non fossil fuel (Sumber: UNFCCC Documents).

Sejak KTT Bumi di Rio itu muncullah pembagian energi fosil dan energi nir karbon. Energi nir kabon ini mencakup energi terbarukan yang sudah dikenal sebelumnya ditambah nuklir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar