a) Minyak Bumi vs Energi Baru dan Terbarukan
Konsep energi terbarukan mulai dikenal pada tahun 1970-an, sebagai upaya untuk mengimbangi pengembangan energi berbahan bakar fosil. Definisi paling umum adalah sumber energi yang dapat dengan cepat dipulihkan kembali secara alami, dan prosesnya berkelanjutan. Dengan definisi ini, maka bahan bakar fosil tidak termasuk di dalamnya.
Latar belakang naiknya istilah tersebut adalah terjadinya krisis minyak bumi. Hal ini
dimulai pada tahun 1970, saat pemerintah Nixon menyadari bahwa produksi minyak
Amerika Serikat mengalami penurunan yang tidak bisa ditahan lagi, sehingga
Amerika Serikat harus bersiap-siap untuk menambah impor minyak (Sumber: "Responding to Crisis". University of Wisconsin.
April 26, 2010).. Setahun kemudian, yaitu pada 15 Agustus 1971, Amerika
Serikat mengubah kebijakan mata uangnya untuk tidak mengikuti aturan Bretton
Woods, sehingga nilai US Dollar tidak terkait dengan nilai emas, tetapi melepaskan
nilainya untuk mengambang (floating)
naik atau turun tergantung permintaan pasar (Sumber: Kollen Ghizoni,
Sandra. "Nixon Ends Convertibility of U.S. Dollars to Gold and
Announces Wage/Price Controls". Federal Reserve History). Tidak lama kemudian Inggris
mengikuti dengan mengambangkan nilai poundsterlingnya, dan diikuti oleh
negara-negara industri lainnya.
Akibat pertama
kalinya menghadapi mata uang mengambang, negara-negara industri berusaha
mengantisipasi fluktuasi mata uangnya dengan meningkatkan cadangan devisanya
dengan nilai yang sangat besar dibanding sebelumnya. Dampak yang terjadi adalah
penurunan nilai US dollar secara drastis. Karena minyak bumi dinilai dalam US
dollar, maka pendapatan negara-negara penghasil minyak pun mengalami penurunan
nyata.
Pada 15
Oktober 1973 hingga Maret 1974 saat OAPEC (Organization of Arab Petroleum
Exporting Countries) yaitu negara arab anggota OPEC ditambah Mesir dan
Suriah, melakukan penyesuaian harga jual
minyaknya, munurunkan produksinya secara bertahap dan memberlakukan embargo
minyak terhadap Kanada, Jepang, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat sebagai
tindakan protes terhadap dukungan Amerika Serikat terhadap Israel dalam perang
Yom Kippur. Hal ini menyebabkan harga
minyak dunia melonjak tajam. Disertai dengan pengeluaran Amerika Serikat untuk
perang Vietnam yang semakin besar, mengakibatkan ekonomi dunia menjadi
tertekan, dan memaksa negara-negara di dunia untuk mengeluarkan anggaran yang
lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan energinya. Saat itu harga minyak dunia
meningkat 4 kali lipat, dari harga 3 USD/barrel menjadi 12 USD/barrel pada
akhir 1974. Peristiwa ini disebut sebagai First
Oil Shock, dikenal juga dengan krisis minyak (Sumber: "Responding to Crisis".
University of Wisconsin. April 26, 2010).
Peristiwa
kedua adalah Second Oil Shock, dikenal juga dengan krisis energi, yang
terjadi akibat menurunnya produksi minyak Iran pada tahun 1979 akibat diturunkannya
Shah Iran dari kekuasaannya. Walaupun secara global produksi minyak hanya
menurun 4%, akan tetapi rumor yang beredar memperburuk keadaan dan trauma
kelangkaan BBM tahun 1973 membuat kepanikan melanda dan harga minyak meningkat
dengan drastis. Pada 5 April 1979, harga minyak di 15,85 USD/barrel, dan tidak lama kemudian
menjadi 39,5 USD/barrel (Sumber: "Iran, Another Crisis for the Shah". Time.
1978-11-13).
Peristiwa
tersebut disusul oleh perang Iran-Irak yang dimulai pada 22 September 1980
ketika Irak menyerang Iran. Akibatnya Iran tidak memproduksi minyak bumi lagi,
dan dunia mengalami kelangkaan energi. Persoalan ini berhasil diatasi saat
negara-negara penghasil minyak meningkatkan produksinya untuk mengembalikan
suplai minyak bumi dunia. Perang Iran-Irak ini baru berakhir pada Agustus 1988( Sumber: Karsh, Efraim (25 April 2002). The
Iran–Iraq War: 1980–1988.).
Akibat
kedua peristiwa tersebut, trauma terhadap krisis minyak dan energi membuat
banyak orang sadar bahwa ketergantungan dunia akan minyak bumi sangat
membahayakan efeknya bagi ekonomi, sehingga muncul gerakan untuk mengembangkan energi
alternatif yang bukan berbasis minyak bumi. Hal ini didukung pula oleh isu
lingkungan yang dikembangkan di konferensi Stockholm 1972 atau United Nations Conference on the Human
Environtment 1972
Pada UN conference of NRSE (New and Renewable Sources Of Energy)
1981 di Nairobi, Kenya, didapatkan kesepakatan yang diantaranya adalah bahwa
keamanan pasokan energi adalah yang vital untuk perkembangan ekonomi setiap
negara, kelangkaan energi adalah ancaman serius bagi perdamaian, sehingga untuk alasan ekonomi dan politik
ketergantungan terhadap minyak bumi (sumber energi tak terbarukan) harus secara
bertahap dikurangi, dan kebijakan eksploitasi sumber energi baru dan terbarukan,
termasuk untuk cadangan energi, harus mulai didorong (Sumber: “Nairobi
Declaration”, UN Documents).
Sejak
saat itulah istilah sumber energi baru dan terbarukan (new and renewable source of energi) menjadi pilihan alternatif dari
sumber energi minyak bumi.
b) Clean Fossil Fuel vs Energi Nir Karbon
Pada
tahun 1992 diadakan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, yang dikenal juga sebagai Rio de Janeiro Earth Summit, Rio Summit, Rio Conference, dan Earth Summit (KTT Bumi), pada tanggal 3 hingga 14 Juni, sebagai konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sebelumnya,
pada 9 Mei 1992, sebuah komite negosiasi antar bangsa (Intergovernmental Negotiating Committee/INC) menerbitkan naskah Framework Convention saat pertemuan di
New York dari 30 April hingga 9 Mei 1992 yang dinamakan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). UNFCCC
ini yang kemudian ditandatangani di KTT Bumi di Rio, dan hingga Desember 2015
sudah diadopsi oleh 197 negara, sehingga mendapat legitimasi secara global
karena keanggotaannya yang universal.
Dalam
KTT Bumi Rio ini, isu pemanasan global menjadi salah satu topik bahasan, bahwa
terjadi perubahan iklim (climate change) akibat meningkatnya emisi gas rumah
kaca (GRK, Green House Gas/GHG) yang
salah satunya adalah karbondioksida (CO2) karena pembakaran. Lebih
spesifik lagi, GRK karbondioksida diproduksi oleh pembakaran energi tak
terbarukan, sehingga muncul istilah energi fosil (Fossil Fuel) untuk minyak bumi, gas bumi, dan batubara. Untuk itu
diperlukan energi alternatif yang lebih bersih dan tidak menghasilkan gas rumah
kaca untuk menggantikan energi fosil. Energi alternatif ini disebut energi
bersih (clean energy) atau energi
netral karbon/nir karbon yang termasuk dalam non fossil fuel (Sumber: UNFCCC
Documents).
Sejak KTT
Bumi di Rio itu muncullah pembagian energi fosil dan energi nir karbon. Energi
nir kabon ini mencakup energi terbarukan yang sudah dikenal sebelumnya ditambah
nuklir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar