13 Mei 2007

Menjadi - Melakukan - Memiliki

Rata-rata orang menggambarkan sukses sebagai kondisi mencapai tujuan. Baik tujuan kecil, tujuan antara, tujuan utama, maupun tujuan sampingan (emang tujuan sampingan pernah ada? entahlah). Adalagi yg menyatakan bahwa sukses adalah proses, bukan hasil. Macam-macam, tetapi biasanya yang namanya mencapai tujuan adalah berupa memiliki sesuatu. Baik sesuatu itu berupa benda nyata, maupun yang tidak nyata.


Persoalannya mulai timbul di sini. Saat orang awam melihat bahwa orang sukses selalu memiliki 'sesuatu' yang menunjukkan kesuksesannya, mereka langsung berkesimpulan bahwa untuk mencapai kesuksesan yang sama berarti sy harus memiliki 'sesuatu' yang sama. Akibatnya, bagaimanapun caranya dia akan berusaha memilikinya dan mulailah muncul prinsip 'menghalalkan segala cara'. Setelah berhasil memilikinya, sifat yang berkembang kemudian adalah pamer. Mengapa? Karena ingin menunjukkan 'bukti kesuksesannya' kepada orang-orang di sekelilingnya sehingga orang-orang tersebut akan menganggapnya sukses. Apa yang terjadi? Orang di sekelilingnya akan berpikiran, "Oh, begitu caranya kalau mau sukses. Tinggal tunjukkan bukti kesuksesannya, maka sy pun dianggap sukses."

Persoalan semakin berkembang, sekarang giliran permainan 'halaman sy lebih hijau daripada punyamu'. Terjadi persaingan untuk saling 'menunjukkan bukti kesuksesan', sehingga masing-masing berusaha memiliki lebih banyak, lebih baik kualitasnya, lebih mahal, lebih kelihatan berharga. Perkembangan selanjutnya menjadi...?? Yak tepaat... perilaku konsumtif. Budaya yang berkembang adalah 'biar miskin asal gaya' dan memiliki barang secara kredit serasa menjadi keputusan yang sangaaadh bijaksana. Urusan bayar? begimana nanti...

Apa yg akan terjadi pada orang yg mengejar kesuksesan dengan cara ini? Bangkrut dan terkubur dalam timbunan hutang. Seperti inikah kesuksesan yg kita cita-citakan?

Mari kita kaji. Apakah kesuksesan bisa dicapai seperti cara menjadi tukang parkir? Kenyataannya saat ini, siapapun yg memiliki peluit bisa menjadi tukang parkir. Apakah hal ini berlaku juga pada 'memiliki stetoskop membuat orang menjadi dokter'? Apakah ini berarti memiliki jaguar membuat orang menjadi hartawan? Sayangnya tidak ya.

Sebagian orang lagi berpikiran lain. Menurut mereka, "Untuk menjadi sukses, kita harus melakukan apa yg orang sukses lakukan". Fokus mereka pada 'melakukan hal yg sama'. Akibatnya, timbul budaya 'me too', seperti plagiat, imitasi, pengekor. Melihat Warren Buffet beli saham tertentu, semua beli saham yg sama. Melihat artis buka cafe, semua ikutan buka cafe. Melihat FO laku, semua buka FO.

Atau memproduksi barang imitasi yg sangat mirip. Kemeja dibuat mirip dan dicap elvis agar menyerupai levis. Kamera dicap Nilkon agar seperti Nikon. Sepatu Made in England dibuat imitasinya dan dicap Made as England. Tetapi, apakah imitasinya lebih laku daripada yang asli? Apakah dengan melakukan apa yang dilakukan Warren Buffet membuat orang menjadi sekaya Warren Buffet? Sayangnya tidak juga ya.

Mengapa? Karena untuk berhasil, orang harus dapat menentukan 'apa yang harus dilakukan' berdasarkan kondisi yang dihadapi. Ambil contoh membersihkan mobil. Apakah cukup dengan lap kering? atau lap basah kemudian dikeringkan? atau disemprot air lalu dikeringkan? Atau harus pakai shampo mobil? Setelah dipertimbangkan ternyata cukup dengan lap kering, ga lama mobilpun kembali mengkilap.

Melihat seperti itu, tetangga sebelah pun membersihkan mobilnya dengan lap kering juga, pikirannya "dia juga cukup dengan lap kering, hasilnya bagus". Tetapi karena kotorannya berbeda dan cat mobilnya berbeda, alhasil mobilnya jadi baret-baret setelah dilap. Itulah yang dimaksud dengan 'seribu kenek tidak bisa menggantikan satu supir'.

Yang kedua, untuk berhasil kita harus bisa 'melakukan apa yang harus dilakukan dengan cara yang benar' sehingga hasilnya optimal. Seperti menimba sumur, orang yg tidak dapat melakukannya dengan baik akan memerlukan lebih banyak menimba karena airnya banyak berjatuhan ketika diangkat. Jauh berbeda dengan orang yg sudah lihai menimbanya.

Dan untuk mencapai kedua kemampuan tersebut, seseorang harus menuntaskan tahap 'menjadi' terlebih dahulu. Sesungguhnya, untuk memiliki apa yg diinginkan, seseorang harus menjadi orang yang berhak dan layak mendapatkannya, setelah itu melakukan apa yang harus dilakukan dengan cara yg benar untuk memilikinya, maka pada akhirnya orang tersebut akan memiliki apa yg diinginkannya.

Tahap menjadi adalah ketika kita membangun pola pikir, sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dibutuhkan. Sehingga saat menghadapi situasi tertentu di lapangan, kita bisa menentukan apa yg harus dilakukan dan dapat melakukannya dengan benar.

Untuk menuntaskan tahap 'menjadi' ini, setiap orang memerlukan waktu yang berbeda-beda panjangnya. Ada yg puluhan tahun, ada yg belasan tahun, ada yg beberapa tahun, ada yg cuma setahun. Yang dibutuhkan adalah pendidikan yang mengubah pola pikir dan sikap serta menambah pengetahuan, latihan yang memberi kesempatan mengembangkan keterampilan, dan pembimbingan dari orang yg sudah berhasil melakukannya.

Banyak orang yang tidak mau dengan sabar membangun pondasi kesuksesan dengan menuntaskan tahap 'menjadi' ini, akibatnya mereka hanya menjadi pengekor saja atau malah penimbun hutang. Padahal ketika orang sudah lulus tahap 'menjadi' ini, dia bisa melihat dan memanfaatkan kesempatan yg lewat di depan matanya. Dan kesempatan itu tidak pernah ada habisnya. Ibaratnya 'mundur selangkah untuk maju seratus langkah'.

1 komentar: